Bismillah..
readers, pasti tau kan penulis novel terkenal dan ternama 'Pipiet Senja'? iya. beliau merupakan salah satu penulis favorit-ku. salah satu buku yang pertama kali aku baca, yaa bukunya teteh Pipiet Senja berjudul Tembang Lara.. aku membaca buku itu saat masih berumur 7 tahun. emang sih, awalnya aku sama sekali gak ngerti maksud jalan ceritanya.. namun, ketika aku membuka kembali novel tersebut, aku mengerti maksudnya dan entah mengapa aku sangat takjub dengan buku tersebut...
sekarang, aku mau share sedikit tentang teteh Pipiet Senja.. semoga berkesan yuaaaa :')
Pipiet Senja adalah nama pena Etty Hadiwati Arief, lahir di Sumedang, 16 Mei
1957 dari pasangan Hj.Siti Hadijah dan SM. Arief (alm) seorang pejuang’45.
Novel yang telah ditulisnya ratusan, tapi yang telah diterbitkan sebagai buku
baru 80.
Pipiet Senja harus ditransfusi darah secara berkala seumur hidupnya karena
penyakit kelainan darah bawaan, memiliki dua orang anak yang selalu
membangkitkan semangat; Haekal Siregar (27), Adzimattinur Siregar (18) dan
seorang menantu yang solehah, Seli Siti Sholihat, seorang cucu menggemaskan;
Ahmad Zein Rasyid Siregar. Aktivitasnya saat ini sebagai anggota Majelis
Penulis Forum Lingkar Pena, sering diundang seminar kepenulisan ke pelosok
Tanah Air dan mancanegara, ngepos di Penerbit Jendela.
Pipiet Senja mengisahkan saat memulai tulisannya, ia
tengah berada dalam kondisi tidak sehat. Penyakit kronis thalasemia yang
dideritanya sejak lahir memberi dampak luar biasa dalam sejarah kehidupannya.
Apalagi ia ditransfusi darah sejak tahun 1969 hingga sekarang, termasuk bagian
kandung empedunya.
Sejak sepulang dari rawat inap sekitar bulan Maret
2009, ia mulai menekadkan diri untuk laparaskopi, sebuah prosedur
pemeriksaan dengan memasukkan teropong kecil ke dalam rongga perut. Dengan
biaya sekitar Rp 60 juta, sebuah nilai yang tidak sanggup ditanggungnya.
Anaknya yang bernama Haekal mengusulkan agar menjual rumahnya yang berada di
Cimahi, namun belum laku juga meski sudah pasang iklan di blog mereka.
Selama berpuluh tahun berobat di rumah sakit, tak
jarang ia dilakukan semena-mena. Mulai dari dibentak petugas, dicuekin dokter,
sampai ditaruh di koridor UGD saat menjalani transfusi darah. Ketika sampai di
UGD, bukannya segera diberi pertolongan malah ditanya, “Ini jaminannya apa?”
bahkan tidak jarang petugas berdalih, “Tak ada tempat, lagi penuh, pindah saja
ke rumah sakit lain!”.
Hingga suatu saat, ia diterima kembali untuk dirawat
di RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. Namun masih ada beban juga rupanya,
akhirnya saat pulang menebus obat di apotik, bertanyalah ia pada Butet, putrinya,
“Nak, ada berapa lagi isi ATM-nya?”. “Masih ada, Ma…dikiiit!” jawab Butet. Saat
itulah seorang kawan bernama Elly Lubis memberi jalan, menjadi penghubung
dengan seorang dokter bernama Imam.
Esoknya,
Butet melangkah mendatangi alamat kantor yayasan sosial tempat dokter itu
berada. “Mereka bersedia meng-cover semua dana operasinya, Ma.”
“Alhamdulillah”
ucap Pipiet Senja. Tinggal mencari jalan bagaimana supaya biaya sehari-hari
terpenuhi dan menebus pinjaman kantor yang mulai menumpuk. Harus dicarikan
solusi, tekadnya.
Selama dua minggu dirawat di RS Polri, Pipiet Senja
berusaha menulis dan terus menulis untuk menyelesaikan dua novel anak-anak.
Meskipun harus menahan rasa sakit pada urat nadinya yang ditempeli jarum abocat
dikarenakan kerasnya memencet keyboard.
Tanpa sadar,
tahu-tahu darah sudah merembes dari jarum yang tergeser-geser, hingga membasahi
seprei. Omelan Butet dan para perawat tidak digubrisnya demi mengejar tekadnya.
Esoknya, ia dikonsulkan ke poliklinik bedah sambil
membawa USG perut yang terbaru. Ternyata poli bedah sudah banyak pasiennya
dengan segala keluh kesahnya. Ada yang tidak berdaya menanggung biaya, penyakit
bawaan yang tak kunjung sembuh, dan sebagainya. Dari sanalah ia mendapat
inspirasi dan semangat hidup.
Spesialis Urologi dan Bedah rumah sakit itu seorang
perwira menengah polisi. Melihat catatan status penyakitnya, dokter itu
menyarankan agar dilakukan bedah umum laparatomi di RSCM yang alatnya sudah
canggih.
Sejak itu di penghujung bulan Juli 2009, ia berobat ke
RSCM Jakarta Pusat, ditemani putrinya. Kembali mereka mendapat perlakuan yang
kurang mengenakkan. Sampai Butet menangis di depan petugas loket, sedangkan ia
tergeletak di bangku ruang tunggu poliklinik Jantung selama satu jam sambil
menahan rasa sakit yang tiada berujung. Tak ubahnya seorang gelandangan,
pikirnya.
Sampai pukul empat sore, Butet muncul dengan seorang
petugas yang membawa kursi roda. Seketika ia berucap, “Sueeeer Mom! Beneran,
gak enak banget jadi orang miskin! Banyak dihina, dilecehkan, dan…ya Allahu
Rabb!”.
Setelah dua hari dirawat, rumah sakit baru memberi
transfusi, sebuah tindakan yang sangat telat. Tidak cuma itu, ia divonis harus
angkat limpa, karena sudah membesar. Dokter memutuskan untuk melakukan dua
tindakan sekaligus, operasi pengangkatan limpa dan kandung empedu. Kabar itu
tentu sangat mengejutkan mereka.
Selama menunggu masa operasi tersebut, mereka pulang
ke rumah. Ia banyak melakukan salat istikharah, mempergiat ibadah malam, dan
menjalin silaturahim. Tak lupa ia juga memperbanyak sedekah. Selain memenuhi
biaya sehari-hari dan biaya pengobatan, ia juga harus memenuhi kebutuhan
emaknya di Cimahi, ketiga anak asuhnya, dan adik-adik yang sering minta
bantuannya.
Jika memakai hitung-hitungan matematis, mustahil ia
sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu hanya dengan mengandalkan uang bulanan
dari kantor, royalti dan honorarium sebagai pembicara. Namun ia senantiasa
berpegang teguh pada prinsip, setiap sen yang ia keluarkan untuk sedekah
tidaklah menjadi sia-sia, sebaliknya akan berlipat ganda balasan dan pahalanya.
Selain itu, Pipiet Senja telah membuktikan
keajaiban-keajaiban yang diberikan Allah sepanjang hidupnya. Beberapa kali
masuk ICCU, ruang isolasi, dinyatakan coma, sebanyak itu pula Allah meloloskan
dirinya dari lubang maut, dan terus berkarya memberi manfaat pada orang lain.
Akhirnya jadwal operasi diperoleh dari dokter bedah
Memet dari poli Bedah, yakni 10 September 2009. Tanggal itu bertepatan dengan
bulan Ramadhan 1430 hijriyah, tepatnya sepuluh hari sebelum hari raya Idul
Fitri.
Saat itu pula ujian datang dari siapa lagi kalau bukan
pelayanan rumah sakit. “Ini benar-benar ujian puasa buat Butet, Ma. Haus,
lapar, dibentak-bentak suster pula. Pokonya terhina banget!”.
Ujar putrinya itu. Lalu, sekitar jam sembilan malam,
Butet duduk di lantai kamar, pelan-pelan membuka makanan yang dibelinya dan
belum sempat disantap. Meleleh sudah hati ibunya melihat keletihannya.
Sepanjang hari itu ia harus ujian, mengerjakan tugas kuliahnya pun di jalanan,
dan bolak-balik menanyakan kamar rumah sakit, apakah ada yang masih kosong.
“Maafkan Mama ya Nak, maafkan Mama,” suara parau
Pipiet Senja tercekat di tenggorokan.
“Mama, jangan pernah minta maaf lagi sama Butet, ya,
pliiiis, pliiiiis….” sambil memeluk ibunya erat-erat, kemudian mencium
pipi-pipinya dengan penuh sayang.
Setengah berbisik, penulis besar itu berujar, “Aku ingin menangis sesenggukan. Bukan tangis duka lara melainkan tangis terharu, tangis bahagia. Betapa ingin kuserukan namanya, agar semua orang, seluruh penghuni ruangan yang bagaikan neraka dunia ini mengetahui bahwa aku memiliki seorang anak perempuan!”
gimana? cukup sedih, tapi bisa membangkitkan semangat kan? aku lupa dapet ini darimana, tadi itu aku cuma buka-buka folder dan ternyata ada artikel ini.. tertarik deh buat nge-sahre ke teman-teman :)
so.. apa yang kalian dapat dari artikel ini InsyaAllah membuat kalian lebih termotivasi lagi. kalian yang masih suka menganggap hidup ini gak adil. berentian. hidup ini adil, kok... lihatlah, sekeliling kalian.. sebenarnya keadilan sudah tercipta, namun kitanya aja yang ga mau menjaga itu semua...
hiduplah sebagaimana kalian hidup.. jalani, hadapi, syukuri :) #SalamSuper
No comments:
Post a Comment