Monday, February 17, 2014

Tangga-Cinta Tak Mungkin Berhenti

Voc: Tangga                                                  Arr: Harry Budiman, Dennis Nussi, Johandi Yahya.

Tak ada kisah tentang cinta
Yang bisa terhindar dari air mata
Namun ku coba menerima, hatiku membuka
Siap untuk terluka
Cinta tak mungkin berhenti secepat saat aku jatuh hati
Jatuhkan hatiku kepadamu sehingga hidupku pun berarti
Cinta tak mudah berganti, tak mudah berganti jadi benci
Walau kini aku harus pergi tuk sembuhkan hati

Walau seharusnya bisa saja dulu aku menghindar
Dari pahitnya cinta
Namun ku pilih begini, biar ku terima
Sakit demi jalani cinta (cinta)

Cinta tak mungkin berhenti secepat saat aku jatuh hati
Jatuhkan hatiku kepadamu sehingga (sehingga) hidupku (hidupku) pun berarti
Cinta tak mudah berganti, tak mudah berganti jadi benci
Walau kini aku harus pergi tuk sembuhkan hati

Hanya kamu yang bisa (…)
Bisa membuatku rela (rela menjalani segalanya)
Rela menangis karenamu (ku rela ku rela …)

Cinta tak mungkin berhenti secepat saat aku jatuh hati
Jatuhkan hatiku kepadamu sehingga hidupku pun berarti
Cinta tak mudah berganti (cinta tak mungkin berhenti)
Tak mudah berganti jadi benci (tak mudah untuk berganti)
Walau kini aku harus pergi tuk sembuhkan hati
Biar ku pergi sembuhkan hati

*Dududududuh.. Parah banget emang. Pertama kali denger lagu ini entahlah tiba-tiba langsung ada tetesan air yang keluar dari sudut mata. Ngena banget lagunya. Sama persis seperti konflik waktu itu yang sampai sekarang masih dipendem. Duh, parah ah jadi galau gini hahaha :') 
Ah udahan ah galaunya. Kasian Kimia nungguin daritadi hehehe :) see ya :)*

Sunday, February 16, 2014

Dilema Anak Sekolah

Huahhh.. Gak ngerti lagi sama kegiatan di sekolah. Aneh-aneh, rumit, waktu pengerjaan yang sedikit, waktu pelaksanaan yang terbentur dengan kegiatan lain, dan lain-lain, dan lain-lain.
Semua kerjaan rumit ini kadang membutuhkan sumbangan energi materil maupun moril bahkan waktu yang lebih. Dimulai dari kegiatan drama/teater; yang selama 1 semester ini bakal ada 3 tugas drama. Pertama: drama bahasa indonesia. Kedua: drama bahasa Inggris. Ketiga: teater seni budaya hingga puncaknya pada pagelaran. Benar-benar super. Apalagi mengingat semester lalu gue juga ada tugas teater seni budaya. Khusus seni budaya, tugas ini memang gak main-main. Setiap jam pelajaran ini dimulai, kita harus melakukan pemanasan atau latihan vokal. Sebelum latihan vokal, ada baiknya melakukan peregangan dengan berlari-lari kecil. Setelah semua pemanasan selesai, baru kita mulai menggarap adegan dalam cerita. Dan jangan harap penggarapan ini gampang dan cuma sebentar. Kadang, untuk menggarap satu adegan, kita membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam. Itu semua karena kesalahan blocking, dialog, ekspresi yang kurang greget, dan lain sebagainya.
Gak cuma dari segi dramanya aja. Pagelaran nanti juga harus berkolaborasi dengan kelompok musik yang mengaransemen lagu, dan kelompok tari yang mengiringi beberapa adegan. Nah, gak kebayang berapa lama kita harus latihan demi menggarap sebuah pertunjukan yang gak malu-maluin. Karena nantinya, pagelaran ini bakal ditonton sama satu angkatan atau bahkan dari angkatan lain. Oh. No.
Peran gue di teater kali ini bener-bener out of my comfort zone. Penasaran? Oh enggak? Yaudah.

Semua tugas drama ini seperti mengubah sesuatu dalam diri gue. Hmm.. Karena peran-peran yang selama ini gue mainkan sangat beragam, jadilah gue seperti gak punya watak asli. Kadang gue diem, kadang gak jelas, kadang heboh, kadang emosional, dan berganti-ganti sampai gue bingung siapa dan apa sebenernya gue ini.

Itu sekilas tentang tugas drama/teater di sekolah. Sekarang, gue mau cerita tentang kegiatan belajar di sekolah yang.... Yaa.. Gitu deh.

**Semua bermula ketika mata pelajaran itu merubah segalanya. Merubah masa SMA yang seharusnya menjadi masa dimana anak-anak merasa bahagia bersama teman-temannya. 
Semestinya, mata pelajaran itu mengajarkan dan membimbing kita (para pelajar) untuk menghargai jasa para pahlawan, mencintai negeri ini, dan rela berjuang sampai mati demi tanah air. Tapi, pelajaran ini malah memaksa kita untuk rela berjuang sampai mati demi mencapai kriteria ketuntasan minimal. Tugas dari mata pelajaran ini tidak main-main. Semua tugas bagaikan skripsi yang mempunyai banyak sekali aturan dalam pengerjaannya. Sedikit saja salah, revisi harus dilaksanakan. Setelah itu, tampilkan hasil diskusi di depan kelas. Hafal. Hafal. Hafal. Ya. Kita harus menghafal materi, dan bahkan menguasai materi. Karena, nantinya dia akan melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan kepada anak murid program IPA. Kalau tidak bisa menjawab, remedial taruhannya.
Setelah tugas selesai (hampir selesai), tibalah menguji kemampuan anak-anak. Ulangan harian. Ulangan tertulis. Esai. Tanpa hitungan, tanpa ilmu pasti, semua hanya hafalan, haruskah dan bisakah melewati itu semua? Bagi anak sosial mungkin itu bisa dilakukan. Tapi bagi anak ilmu pasti? Tidaklah mudah mencapai nilai memuaskan kalau bentuk ujiannya seperti itu. Seperti apa? Seperti: di luar kisi-kisi, waktu belajar yang sedikit, dan dihantui perasaan tertekan. Dan ketika banyak yang gagal, malah menyalahkan anak-anak dan bilang: tidak serius belajar, tidak mencari informasi, dsb. Dan apa yang kami rasakan? Selama ini kami belajar serius bahkan sangat serius demi mata pelajaran ini; mata pelajaran yang sebenarnya tidak ada di program wajib kami. Belajar hingga larut malam, merelakan waktu main dan waktu istirahat, bahkan hingga jatuh sakit pun kami lakukan. Tapi apa? Dan mengapa? Mengapa mempersulit dan menyalahkan? Tidak mencari informasi? Telah banyak informasi yang kami cari. Sangat banyak. Hingga penuh catatan kami mengenai materi itu. Tapi sayangnya, catatan kami masih belum memenuhi apa yang diinginkan oleh soal-soal itu. Dan sayangnya, semua itu terjadi karena mata pelajaran yang kami pelajari bukan hanya mata pelajaran ini. Apakah kami harus menyelam ke dalam materi itu dan meninggalkan materi pelajaran lain? Tidak, bukan?
Sekarang, ketika semua hasil telah terungkap, dan kami gagal.. Kami kecewa. Awalnya dipaksa, disalahkan. Ya. Kami selalu salah. Tidak mengapa, kami menerima itu semua. Hitung-hitung, kami melatih diri menjadi lebih kuat, lebih baik. Dan dengan mengenal ini semua, kami bisa menjadi manusia yang bisa menghargai usaha orang lain.**

Jangan kira anak sekolah gak punya dilema karena banyaknya kegiatan di tempat mereka menimba ilmu. Bayangkan saja, setiap hari tugas-tugas datang berkerumun, ulangan harian yang rumit dan penuh kesukaran harus dilalui dengan nilai yang memuaskan. Jika tidak, harus mengulangnya sampai tuntas. 
Bagaimana bisa berprestasi jika memiliki banyak tuntutan? Apalagi, mengingat semua mata pelajaran ingin menjadi prioritas. Ketika kami ingin memprioritaskan pelajaran ini, pelajaran lain datang menghampiri minta dijadikan prioritas. Begitu seterusnya.
Mungkin beberapa anak bisa berprestasi meskipun dalam kondisi seperti itu. Tapi, bagaimana bisa berprestasi dalam kondisi tertekan dan tidak mempunyai kebahagiaan? Pastilah di dalam hati masih tersimpan kekesalan, stress, dan bahkan emosi meluap-luap. Apakah itu bagus? Tidak. Hal seperti itu tidak pernah menjadi sesuatu yang positif.

Lalu, bagaimana seharusnya? Dari sisi murid, kami memang harus menerima, menelan ini semua. Tidak peduli itu pahit atau manis. Toh, nantinya, semua pengalaman baik dan buruk ini bisa memberikan hikmah bagi kami dan berguna untuk kehidupan nantinya di saat kami tumbuh dewasa. Tidak mengapa jika harus menangis atau marah atau menangis sambil marah karena pahitnya masa-masa ini. Tapi, jangan lupa untuk kembali tersenyum dan menata ulang hati agar utuh, hingga siap menghadapi rintangan lainnya. Memang lelah, tapi inilah jalan untuk membuat kita semakin kuat :)
Dari sisi pembimbing, hmm.. Ada saat dimana tidak seharusnya memaksa atau memforsir tenaga dan pikiran kami. Kami manusia, dan punya batasan dalam mengerjakan sesuatu. Terkadang kami lelah, sakit dsb. Mengapa harus mempersulit langkah kami untuk sukses? Mudahkan kami. Jika ingin kami sukses, semua ada kuncinya. Kami butuh pujian, bukan disalahkan. Mengapa tidak katakan: "Kalian mengerjakannya dengan baik." atau "Saya tau kalian telah belajar dengan baik". Mengapa malah mengatakan: "Hasil pekerjaan kalian masih buruk" atau "Tidak bisakah kalian belajar dengan serius?"
Dengarkan keluhan kami, baca raut wajah kami.. Seperti seorang pembimbing yang bisa membaca raut wajah kami; di saat kami menunjukan ekspresi kesusahan, ia menyudahi jam pelajarannya, dan mengajak kami berbincang, mengizinkan kami mengisi ulang energi, hingga kami kembali pulih. Ia mendengarkan keluhan kami dan memudahkan langkah kami untuk sukses. Ya. Seperti itulah seharusnya. 
Tidak mengapa jika semua ini sudah terlanjur menjadi adat tradisi. Kami menerimanya dan kami tetap tersenyum :) Lihatlah, kami tersenyum dalam peluh :')
 

Template by BloggerCandy.com