Saturday, June 16, 2018

Makna Kejujuran

Assalamu'alaikum, para penonton pembaca :'D
Akhirnya saya muncul kembali setelah sekian bulan lamanya penulis menghilang dari tanggung jawab sebagai pemilik, sekaligus satu-satunya admin di blog ini. Alasan klasik yang selalu sama, sejak dulu tidak pernah berubah, yaitu kesibukan kuliah dan mencari sesuap IPK demi masa depan yang cemerlang :'D

Kabar terbaik yang bisa saya bagikan adalah, Alhamdulillah tepat di bulan ini saya selesai menempuh perjalanan semester 4 dengan predikat cukup baik. Meskipun sejatinya nilai di semester ini belum keluar, saya berusaha tetap optimis bahwa nilai proses selalu mengiringi hasil akhir, apapun itu bentuknya.
Oke, berhubung saya tergolong masyarakat apa adanya, tidak terlalu pasif pun tidak aktif, pemerhati lingkungan namun tidak terlalu peduli, saya ingin membagikan sedikit cerita perjalanan selama sekolah hingga kuliah di Kimia.

Sebelum berat badan saya mencapai 50 kg, saya merupakan sosok makhluk nyata yang sangat menghargai kejujuran. Bagi saya, apapun yang saya miliki dan dapatkan, itu harus merupakan hasil dari buah kejujuran yang saya kerjakan. Baik dalam hal akademis, penghasilan, maupun urusan cinta. Ehm.Waktu sekolah dasar dulu, saya mendapati teman saya selalu melirik ke belakang, bukan karena saya cantik dan menarik, tetapi lembar jawaban komputer saya menjadi primadona baginya. Saya tidak mengerti mengapa, padahal saya bukanlah anak yang pintar, terlihat dari kebiasaan saya jajan gorengan bumbu kacang di kantin sekolah. Lirikan teman saya itu membuat saya kesal dan sangat terganggu. Fokus saya terbagi antara melindungi LJK dengan menutupi menggunakan tangan sambil mengerjakan soal ujian.

Di SMP saya mengalami kejadian yang hampir serupa, namun lebih liar. Kelas 7, entah kebetulan dari mana saya mendapat gelar-gelaran murid berprestasi. What? Ya, setiap peringkat 1, 2, dan 3 di kelas diberikan gelar seperti itu oleh sekolah untuk diikutkan seleksi olimpiade. Menurut saya itu terlalu dini, bahkan saya belum tau olimpiade itu seperti apa. Lanjut. Sewaktu ujian, teman saya dengan watadosnya (watados: wajah tanpa dosa) mengambil lembar jawaban saya ketika saya meregangkan tangan sejenak. Di situ sempat terjadi percekcokan, di mana saya hanya bisa, "ih balikin" saat si perebut asik menyalin jawaban. Syukurlah salah satu teman yang lain berhasil merebut dan mengembalikan lembar jawaban saya. Saat itu saya sangat kesal, pun teman penyelamat tadi ikut kesal. Betapa mudahnya mengambil hasil kerja orang lain tanpa merasa bersalah dan tidak ada permohonan maaf.

Sejak kejadian itu, saya benci para pelaku kecurangan. Saya sendiri berjanji untuk tidak curang ketika ujian, setidak mampu apapun saya. Ohiya, waktu SMA kelas 12, teman saya berlomba mendapat nilai terbaik, karena nilai semester 5 penentu kelulusan SNMPTN. Satu kelas (kecuali saya dan teman sebangku sebut saja Tika), membuat contekan jawaban ulangan harian Fisika. Bayangkan. Jawaban. Kebetulan mereka dapat soal-soalnya dari kelas sebelah yang sudah ujian. Kesal bukan main, dengan berani saya dan Tika menceritakan itu kepada guru kami. Hasilnya, diadakan ujian ulang dan kami dibenci satu kelas :'D
Kami mendapat cerita dan sempat mendengar sendiri desas desus bahwa anak kelas kami membuat grup baru tanpa ada kami :'D
Entah darimana mereka tau bahwa kami bercerita kepada guru, padahal guru kami sudah meyakinkan bahwa tidak akan membuka identitas kami..

Waktu pengumuman SNMPTN, betapa sakitnya saya melihat teman yang terbiasa mencontek lulus diterima PTN sementara saya harus berjuang di tahun berikutnya. Ya, berjuang lagi di ujian tulis PTN tahun 2016.

Tetapi, entah mengapa semakin saya berproses dengan jujur, semakin saya mempunyai rasa malu untuk mencoba satu kali berbuat tidak jujur. Terutama ketika ujian. Komitmen jujur ketika ujian selalu saya pegang hingga di bangku kuliah. Sakit rasanya hati ini membayangkan bahwa, bagaimana mungkin saya tega mengkhianati keringat saya sendiri hanya untuk satu mata kuliah tertentu.
Lain halnya dengan kawan lain yang belum berani berkomitmen atas kejujuran. Terlihat mudah sekali menyimpan jawaban, menyelipkan jawaban, bertukar jawaban, hingga membuka alat komunikasi. Saya bukanlah anak yang pintar di kampus, perlu beberapa jam untuk saya memahami satu materi, pun nilai saya tidak lepas dari unsur karbon. Namun, entah mengapa saya takut tidak jujur ketika ujian. Bukan karena takut dapat nilai 0, tetapi lebih karena keberkahan di dalamnya.

Bagaimana jika ada satu orang yang sakit hati ketika ia sudah belajar keras, sementara kita yang tidak terlalu belajar sudah siap sedia dengan "strategi" untuk mendapat hasil yang diinginkan? Tambahan lagi, bagaimana jika orang tersebut sakit hati dan tidak segan mendoakan keburukan bagi kita? Naudzubillah..
"Ah, salah sendiri dia baperan liat orang nyontek"
Oke, coba renungkan keberkahan yang didapatkan ketika berlaku jujur. Saya yakin betul bahwa kejujuran akan membawa berkah, apalagi kita sebagai insan terdidik yang berharap mendapat ilmu bermanfaat.

Saya pernah satu kali ujian Kimia Dasar 2 tidak membawa kalkulator. Saat itu ujian sudah berlangsung dan saya baru sadar tidak membawa kalkulator. Ya, betapa bodohnya saya. Tetapi, sekalipun saat itu saya betul-betul blank karena panik, sekaligus tidak bisa menghitung hitungan yang kompleks, prinsip jujur tetap ada. Saya kerjakan semampu mungkin dengan nilai akhir yang Alhamdulillah tidak mengecewakan :'D

Sedikit cerita, nilai saya yang tidak lepas dari unsur karbon, yang saya dapatkan dengan jerih payah sendiri (jujur tanpa contek mencontek) nyatanya membawa berkah tersendiri. Alhamdulillah, saya mendapat beasiswa one time grant yang nominalnya cukup untuk biaya kuliah. Inilah bentuk keberkahan yang saya maksud, wujud dari kesabaran dan penerimaan atas apa yang Allah anugerahkan. Prinsip kejujuran juga saya pegang ketika mencari penghasilan. Alhamdulillah, mulai semester ini saya sudah berani menghasilkan uang sendiri dengan mengajar, meskipun belum terlalu berpengalaman. Saya paham betul bagaimana lelah dan sulitnya mencari uang. Saya amat tidak ingin mencari uang dengan cara yang tidak jujur, baik itu dalam bentuk mencuri atau apapun. Terima kasih kepada keluarga dan teman-teman saya yang selalu membantu ketika dompet saya sisa 15 ribu :'D
Ya, sebenarnya saya tipe yang malu ketika meminta uang atau ketika dibelikan ini itu, jika hal tersebut bukanlah kewajiban orang yang bersangkutan. Tetapi, mereka yang menyayangi saya, yang ikhlas membantu dan memberi ketika saya butuh, itu adalah anugerah tersendiri yang saya dapatkan. Dan mereka mungkin tidak akan datang apabila saya tidak meraih rizki dengan cara yang jujur (halal).

Inilah sedikit makna dari kejujuran yang ingin saya bagikan. Semoga, apapun hasil semester 4 nanti, saya dapat memaknai kejujuran dan rasa syukur dengan lebih baik :'D
Jika saja ada sedikit atau banyak kegagalan yang didapatkan, semoga hal itu menjadi tangga yang membantu saya mencapai puncak keberhasilan. Harapan baik ini berlaku untuk pembaca sekalian, para pejuang yang tidak kenal lelah.

"Jujurlah, meskipun kejujuran itu membawamu ke neraka."
 

Template by BloggerCandy.com