Sunday, April 26, 2020

Hivi!-Pelangi

Ku ingin cinta hadir untuk selamanya
Bukan hanyalah untuk sementara
Menyapa dan hilang
Terbir tenggelam bagai pelangi
Yang indahnya hanya sesaat
Tuk kulihat dia mewarnai hari

Tetaplah engkau di sini
Jangan datang lalu kau pergi
Jangan anggap hatiku
Jadi tempat persinggahanmu
Untuk cinta sesaat

Mengapa ku tak bisa jadi cinta
Yang takkan pernah terganti
Ku hanya menjadi
Cinta yang takkan terjadi
Lalu mengapa kau masih di sini
Memperpanjang harapan

Tetaplah engkau di sini
Jangan datang lalu kau pergi
Jangan anggap hatiku
Jadi tempat persinggahanmu
Untuk cinta sesaat

Kau bagai kapal yang terus melaju
Di luasnya ombak samudera biru
Namun sayangnya kau tak pilih aku
Jadi pelabuhanmu

Tetaplah engkau di sini
Jangan datang lalu kau pergi
Jangan anggap hatiku
Jadi tempat persinggahanmu

Bila tak ingin di sini
Jangan berlalu lalang lagi
Biarkanlah hatiku
Mencari cinta sejati
Wahai cintaku, wahai cinta sesaat

😊😊😊

Aku ingat waktu kamu mainkan alunan melodi lagu ini, membuat aku tidak pernah absen untuk mendengarkannya. Kamu tambahkan gambar pelangi, yang tanpa menebak pun aku sudah tahu yang kamu maksudkan adalah lagu ini.
Aku paham lirik demi lirik, dan sudah ku tanamkan bahwa aku tidak akan menjadikan diriku ini sebagai cinta sesaatmu. Aku tanamkan bahwa kamu bukan persinggahan sementaraku. Aku genapkan bahwa aku bukan pelangi yang memberikanmu keindahan sebentar, lalu pergi begitu saja-- memberikan keindahan di tempat lain.
Kamu ingin aku menjadi pelabuhan terakhirmu, maka aku menjadi demikian.
Aku sulap diriku menjadi pelabuhan terakhirmu, yang semula kamu takutkan aku menjadi perahu yang berlayar ke sana ke mari, tidak tentu arah, dan meninggalkanmu (pelabuhanku). Namun kenyataannya, kamu yang justru berlayar pergi meninggalkan pelabuhanmu. Tanpa pamit, kamu pergi, tanpa meminta izin, kamu mengembangkan layarmu menjauhiku.
Aku masih di sini, menunggumu untuk kembali berlabuh pulang, lenganku terbuka lebar menyambutmu, walau lelah akan kulakukan agar kamu mengetahui aku tidak pernah ingkar janji.

Lucunya, aku menuliskan sesuatu yang tidak akan pernah kamu baca.
Hingga detik ini, aku belum belajar dari kesia-siaan.

Sunday, April 5, 2020

Luka

Pernahkah kalian berusaha sebaik dan sekuat mungkin dalam menjalani sesuatu untuk orang yang kalian kasihi? Mungkin sebagian besar dari kita pernah melewati masa ini. Sebagian dari kita memilih diam, mengunci kisah itu ke dalam kotak yang dikubur dalam.
Ini kisahku yang tidak aku kubur dalam.
Perjuanganku selama bertahun-tahun, memberikan semua yang aku punya untuk orang yang aku anggap istimewa. Rela melakukan kesalahan agar orang tersebut melihatku, memberikan aku ruang gerak sedikit bahwa sesungguhnya memang aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Dunia bahkan turut menghakimiku, "Kamu itu perempuan, seharusnya bukan kamu yang berusaha."
Tapi aku memilih bertahan.

Sekalipun aku marah padanya dan bilang bahwa, "Aku sudah tidak peduli kamu mau seperti apa,"
sungguh itu hanya di kalimat. Hanya tulisannya saja seperti itu. Pada akhirnya aku tetap tidak tega meninggalkan dia walau hanya sebentar. Tapi, inilah yang aku alami sendiri. Berkali-kali aku lihat dia lebih memilih orang lain.
Aku tahu sebagian besar dari kalian ada yang beranggapan bahwa, "Tidak apa-apa selagi dia baik ke teman-temannya."
Justru itu yang membuatku semakin tersiksa dengan semua ini. Dia selalu memilih teman-temannya, bahkan jika teman-temannya berbuat salah, tidak pernah ia berniat meninggalkan mereka. Tidak pernah sumpah serapah di hadapan teman-temannya.
Suatu ketika aku mengantar barang penting ke ruangan dia (dan teman-temannya, tentu). Aku pikir dia tengah merenung, sendirian, seperti apa yang aku lakukan setiap kali dia marah. Atau setiap kali kami bertengkar. Ternyata tidak, aku datang dan melihat dia tertawa bersama teman-temannya, 
"Syukurlah dia bahagia," batinku menyemangati hati yang rapuh.
Aku bergetar sendiri ketika aku menyerahkan barang tersebut di tengah-tengah mereka, suasanya berubah hening, tidak ada gelak tawa yang sebelumnya keluar dan merebak ke seluruh ruang. Bertahun-tahun aku tidak mengharapkan tegur sapanya, tidak pula ketika aku merubah suasana tawa menjadi hening saat itu. Tidak heran, sejak semester ini sudah kurasakan dia memang ingin menghindar.

Pertanyaanku, kenapa baru sekarang, ketika aku sudah menyerahkan semua yang aku mampu berikan?
Kenapa baru sekarang ketika semua ikhlas dan sabar aku jalani ketika dia jauh lebih membela teman-temannya dibanding aku, yang dia bilang dia akan menyayangi aku dan membuat aku percaya bahwa tidak semua laki-laki sama?

Hariku berat, kawan.
Aku ingat masa aku bilang padanya, "Aku tidak peduli lagi kamu mau ngapain, mau jungkir balik pun aku tidak peduli." Aku ingat setelah itu kami masih bisa menjalani bertahun-tahun, alias tidak, aku tidak benar-benar tidak peduli.
Kalian tahu, ketika perempuan bilang "Aku tidak peduli" maka sejatinya dia sangat peduli dan tidak ingin meninggalkan kalian.
Satu hal yang membuatku sakit saat ini adalah, dia menggunakan kalimat tersebut untuk meninggalkanku.
Dia bilang, "Dulu kamu bilang tidak peduli kan? Sekarang giliran aku yang tidak peduli mau kamu jungkir balik pun aku tidak peduli."
Deg.
Kontakku diblokir semuanya.
Semuanya.
Sudah satu bulan rasanya seperti ini. Dan bulan depan aku ulang tahun ke-23.
Berat bagiku menjalani ini semua.

Tubuhku bergetar ketika aku ingat betapa luka itu masih terasa sakit dan dalam. Tidak sedikit orang-orang membela dia dan menyalahkan bahwa aku terlalu berlebihan. Tuhan, jika saja mereka tahu bahwa yang sudah aku lakukan untuk dia sungguh di luar akal sehat dan batas kewajaran.
Tidak ada diskusi yang benar antara kami berdua. Dia bicara dengan emosi, bilang ingin berpisah, yang saat itu aku hanya bertanya, "Kenapa balas chat-nya berbeda?" dan kondisiku di kereta listrik, perjalanan ke kampus. Aku menangis sejadinya di Laboratorium, tidak tahu malu kondisi di sana banyak mahasiswa lalu lalang. 

Jika sesederhana itu rasa sakitnya, aku tidak menulis ini sembari meneteskan air mata. Aku menulis ketika aku rapuh, karena melalui tulisan, tersampaikan sebagian rasa takut dan sakit yang tidak bisa aku ungkapkan lewat ucapan. Aku yakin, ada saatnya dia sadar bahwa aku memang selama ini sabar dan ikhlas menerima semua perlakuan pun keadaan dia.

Sampai di sini dulu, orang tuaku akan kesal jika tahu aku menangis karena orang lain :)
Biarkan waktu yang menjawab sebenarnya seperti apa. Biarkan dia yang merasakan jawaban tersebut, karena sesungguhnya ini semua terjadi tanpa keinginanku. Semata keinginan dia. Bahkan, biarkan dia kelak merasakan luka yang aku rasakan. Sabar dan ikhlas, tapi diganti dengan disebarkan duri tajam untuk memaksa pergi.

Thursday, March 19, 2020

Sebutir Hikmah di Akhir Tahun Pendidikanku

Assalamu'alaikum, teman-teman semua yang mungkin saat ini sudah tidak mengakses blog lagi, kecuali blog yang berisi informasi penting :') yap, berkali-kali saya memikirkan ide untuk mengisi blog ini dengan materi penting, namun tidak tercapai. Bahkan, mampu meng-update blog saja sudah bersyukur ahahaha.

Sekarang, saya bukan lagi siswi SMA yang sedang galau hendak kuliah di mana dan jurusan apa. Kabar baik, kini saya sedang menempuh skripsi untuk memperjuangkan gelar saya menjadi sarjana sains, tepatnya Ilmu Kimia. Bismillah, saya sendiri tidak begitu yakin dengan penelitian saya. Banyak kekacauan yang terjadi, termasuk baru-baru ini ada virus Covid-19 yang menyebabkan penelitian saya ditunda selama dua minggu. Mendebarkan, khawatir rencana kerja saya tidak berjalan dengan baik. Belum lagi tinjauan literatur saya yang belum bisa saya maksimalkan.

Bukan tanpa alasan saya belum dapat melakukan tinjauan literatur, memperdalam penelitian, metode, dan beberapa analisis terkait hasil yang saya peroleh. Dalam hidup ini, seringkali manusia berbuat kesalahan, kecil ataupun besar. Tidak peduli ukurannya, kesalahan tersebut pasti berpengaruh terhadap langkah selanjutnya, Inilah yang terjadi dalam hidup saya kini.

Kebodohan yang saya lakukan. Menerima satu orang dalam hati, mengisi penuh hati saya dengan sosok tersebut. Berusaha menanam semua benih perasaan tanpa peduli risikonya. Toh, dia bilang pasti serius. Pasti menepati janji, bahkan dia memberikan sesuatu sebagai tanda bukti keseriusannya. Kebodohan saya, tidak menolak tanda bukti tersebut, justru mengiyakan dengan hati yang rapuh.
Ya, dia telah "membentuk" saya selama bertahun-tahun. Sejak awal memang saya sulit percaya padanya, apalah daya seorang wanita yang sebelumnya diperlakukan tidak baik dengan lawan jenis? Pasti di dalam hati masih terkandung rasa tidak percaya, meskipun subjeknya kali ini berbeda. Tetap saja. Saya tidak bisa mempermainkan perasaan, maka saya berikan, saya berusaha berikan perasaan saya utuh kepadanya. Rasa percaya saya tanamkan selama kurang lebih dua tahun. 

Mengasihinya untuk pertama kali, memberikan dia senyuman dari jauh karena saya terlalu takut jika ada banyak orang yang tahu. Memberikan dia doa dari jauh, memberikan dukungan, dalam senyap saya membatinkan agar apapun yang dia kerjakan berbuah keberhasilan. Jujur, saya menangis menuliskan tiap kesenyapan yang saya lakukan pada saat itu. Saya berani bilang bahwa ini adalah suci, tidak semua wanita (kecuali anggota keluarganya), mampu atau bahkan mau melakukan hal tersebut tanpa pamrih.

Tidak pernah saya ingin tahu hartanya.
Ketika orang lain banyak yang membicarakan hartanya.
Tidak pernah saya ingin tahu kepandaiannya.
Ketika orang lain banyak yang inginkan kepandaiannya.

Ketika dia datang kepada saya, saya berjanji untuk tidak melukainya. Gagal? Saya coba lagi. Saya coba terus. Saya ulangi lagi. Apapun akan saya lakukan untuk menutupi kegagalan saya pada saat itu.
Namun, justru itulah kebodohan saya, semua telah saya relakan. 
Tidak bisa melihatnya marah, maka saya tekan ego saya agar bisa mengalah. Saya maafkan semua kesalahannya, baik yang dia akui atau tidak akui. Sakit adalah sakit, namun maaf tetap saya berikan. Setiap pertengkaran saya tutup dengan senyuman, bukan karena saya merasa menang, tapi karena saya betul-betul tidak ingin dia marah lagi. Saya paham bahwa jika dia api, maka saya harus jadi air, bahkan mungkin es. Menjadi es di tengah api, memadamkan semuanya.

Bertahun-tahun saya berani mengambil langkah yang belakangan saya pelajari "itu salah."
Pun, dia terkesan tidak ingin mengingatkan, "Jangan seperti itu." 
Bagaimana saya tidak banyak mengalah apabila saya terus menerus ditekan oleh emosinya yang semakin menjadi-jadi? Bagaimana saya, seorang wanita yang pada saat itu berusaha memberikan hati dan kepercayaan untuk pasangannya, berani mengambil langkah ekstrim, jika tidak ada jalan keluar lain selain perpisahan?
Saya tidak pernah main-main. Ternyata justru saya yang dipermainkan, seolah-olah, bentuk ancaman yang tidak kasat mata dia berikan, "Kalau kamu tidak A, maka berpisah. Maka tetap saya ungkit. Maka tetap seperti ini."
Memang, tahun pertama bersamanya saya adalah orang yang paling tidak percaya dengan semua kata-katanya. Saya tikam dia secara nyata dengan semua pikiran negatif saya tentang laki-laki. Hingga akhirnya, semakin hari pada saat itu saya sadari, lebih baik saya mencoba lebih percaya. Dua tahun berikutnya, saya berusaha lebih keras lagi untuk bertahan. Memendama semua kekecewaan, memahami lebih dalam, ego saya tekan, dan tidak memaksakan kehendak. Berulang kali saya tanyakan, "Kamu berjanji untuk serius?" dia selalu menjawab, "Ya, saya sangat serius."


Dia meninggalkan janjinya.
Akhir yang tragis.
Di penghujung tahun pendidikan saya, justru dia yang meninggalkan saya dengan alasan yang pernah saya dengar, yang menjadi faktor saya sulit percaya dia di awal tahun kebersamaan. Yang menjadi cambuk, menjadi silet, membuka semua luka yang baru saja saya balut.
"Kamu ternyata seperti ini."
Seperti apa? Saya bahkan tidak tahu saya seperti apa. Semua alasan yang dia keluarkan hanya berlandaskan tahun pertama dia terluka, semua penjelasan saya tidak didengarkan, bahkan semua yang saya lakukan tidak diindahkan.
Saya telah merelakan semua.

Benar-benar berat untuk saya menjalani ini.
Kini, dia menutup semua akses komunikasi. Saya yakin, dia merasa dia menang karena berhasil membuat saya menyerah. Saya yakin, justru dia bisa tertawa, bisa merasa puas karena kebosanan dia akhirnya terputuskan.

Hanya Allah tempat saya bersandar.
Tidak semestinya saya mengambil jalan ekstrim, di balik punggung kedua orangtua saya, tanpa menceritakan secuil pun bagaimana saya melalui itu semua dengan keputusan saya sendiri. Saya menekan ego di depan wajahnya, tapi saya justru egois di depan kedua orangtua saya.
Kini, bukan hanya nama baik saya saja yang tercoreng. Nama baik orangtua, adik-adik, kakak-kakak saya, semua sudah rusak.

Dia tidak akan paham, bahwa banyak hal yang berani saya lakukan, yang di luar batas kewajaran, adalah karena rasa percaya kepadanya.
Dia tidak akan paham, bahwa  banyak hal yang berani saya lakukan, hanya untuk meminta maaf dan kembali membuatnya bahagia.
Dia tidak akan paham, bahwa tidak semestinya berakhir seperti ini, komunikasi jarak jauh, tidak intensif, tidak ada tatap mata. Semua spontan. Egois.

Maka, biarkan pengalaman pahit ini saya yang memahami.
Laki-laki yang baik pasti memaafkan, tidak tega apabila wanita harus melakukan semuanya terus menerus.  

Semuanya.

Saturday, June 16, 2018

Makna Kejujuran

Assalamu'alaikum, para penonton pembaca :'D
Akhirnya saya muncul kembali setelah sekian bulan lamanya penulis menghilang dari tanggung jawab sebagai pemilik, sekaligus satu-satunya admin di blog ini. Alasan klasik yang selalu sama, sejak dulu tidak pernah berubah, yaitu kesibukan kuliah dan mencari sesuap IPK demi masa depan yang cemerlang :'D

Kabar terbaik yang bisa saya bagikan adalah, Alhamdulillah tepat di bulan ini saya selesai menempuh perjalanan semester 4 dengan predikat cukup baik. Meskipun sejatinya nilai di semester ini belum keluar, saya berusaha tetap optimis bahwa nilai proses selalu mengiringi hasil akhir, apapun itu bentuknya.
Oke, berhubung saya tergolong masyarakat apa adanya, tidak terlalu pasif pun tidak aktif, pemerhati lingkungan namun tidak terlalu peduli, saya ingin membagikan sedikit cerita perjalanan selama sekolah hingga kuliah di Kimia.

Sebelum berat badan saya mencapai 50 kg, saya merupakan sosok makhluk nyata yang sangat menghargai kejujuran. Bagi saya, apapun yang saya miliki dan dapatkan, itu harus merupakan hasil dari buah kejujuran yang saya kerjakan. Baik dalam hal akademis, penghasilan, maupun urusan cinta. Ehm.Waktu sekolah dasar dulu, saya mendapati teman saya selalu melirik ke belakang, bukan karena saya cantik dan menarik, tetapi lembar jawaban komputer saya menjadi primadona baginya. Saya tidak mengerti mengapa, padahal saya bukanlah anak yang pintar, terlihat dari kebiasaan saya jajan gorengan bumbu kacang di kantin sekolah. Lirikan teman saya itu membuat saya kesal dan sangat terganggu. Fokus saya terbagi antara melindungi LJK dengan menutupi menggunakan tangan sambil mengerjakan soal ujian.

Di SMP saya mengalami kejadian yang hampir serupa, namun lebih liar. Kelas 7, entah kebetulan dari mana saya mendapat gelar-gelaran murid berprestasi. What? Ya, setiap peringkat 1, 2, dan 3 di kelas diberikan gelar seperti itu oleh sekolah untuk diikutkan seleksi olimpiade. Menurut saya itu terlalu dini, bahkan saya belum tau olimpiade itu seperti apa. Lanjut. Sewaktu ujian, teman saya dengan watadosnya (watados: wajah tanpa dosa) mengambil lembar jawaban saya ketika saya meregangkan tangan sejenak. Di situ sempat terjadi percekcokan, di mana saya hanya bisa, "ih balikin" saat si perebut asik menyalin jawaban. Syukurlah salah satu teman yang lain berhasil merebut dan mengembalikan lembar jawaban saya. Saat itu saya sangat kesal, pun teman penyelamat tadi ikut kesal. Betapa mudahnya mengambil hasil kerja orang lain tanpa merasa bersalah dan tidak ada permohonan maaf.

Sejak kejadian itu, saya benci para pelaku kecurangan. Saya sendiri berjanji untuk tidak curang ketika ujian, setidak mampu apapun saya. Ohiya, waktu SMA kelas 12, teman saya berlomba mendapat nilai terbaik, karena nilai semester 5 penentu kelulusan SNMPTN. Satu kelas (kecuali saya dan teman sebangku sebut saja Tika), membuat contekan jawaban ulangan harian Fisika. Bayangkan. Jawaban. Kebetulan mereka dapat soal-soalnya dari kelas sebelah yang sudah ujian. Kesal bukan main, dengan berani saya dan Tika menceritakan itu kepada guru kami. Hasilnya, diadakan ujian ulang dan kami dibenci satu kelas :'D
Kami mendapat cerita dan sempat mendengar sendiri desas desus bahwa anak kelas kami membuat grup baru tanpa ada kami :'D
Entah darimana mereka tau bahwa kami bercerita kepada guru, padahal guru kami sudah meyakinkan bahwa tidak akan membuka identitas kami..

Waktu pengumuman SNMPTN, betapa sakitnya saya melihat teman yang terbiasa mencontek lulus diterima PTN sementara saya harus berjuang di tahun berikutnya. Ya, berjuang lagi di ujian tulis PTN tahun 2016.

Tetapi, entah mengapa semakin saya berproses dengan jujur, semakin saya mempunyai rasa malu untuk mencoba satu kali berbuat tidak jujur. Terutama ketika ujian. Komitmen jujur ketika ujian selalu saya pegang hingga di bangku kuliah. Sakit rasanya hati ini membayangkan bahwa, bagaimana mungkin saya tega mengkhianati keringat saya sendiri hanya untuk satu mata kuliah tertentu.
Lain halnya dengan kawan lain yang belum berani berkomitmen atas kejujuran. Terlihat mudah sekali menyimpan jawaban, menyelipkan jawaban, bertukar jawaban, hingga membuka alat komunikasi. Saya bukanlah anak yang pintar di kampus, perlu beberapa jam untuk saya memahami satu materi, pun nilai saya tidak lepas dari unsur karbon. Namun, entah mengapa saya takut tidak jujur ketika ujian. Bukan karena takut dapat nilai 0, tetapi lebih karena keberkahan di dalamnya.

Bagaimana jika ada satu orang yang sakit hati ketika ia sudah belajar keras, sementara kita yang tidak terlalu belajar sudah siap sedia dengan "strategi" untuk mendapat hasil yang diinginkan? Tambahan lagi, bagaimana jika orang tersebut sakit hati dan tidak segan mendoakan keburukan bagi kita? Naudzubillah..
"Ah, salah sendiri dia baperan liat orang nyontek"
Oke, coba renungkan keberkahan yang didapatkan ketika berlaku jujur. Saya yakin betul bahwa kejujuran akan membawa berkah, apalagi kita sebagai insan terdidik yang berharap mendapat ilmu bermanfaat.

Saya pernah satu kali ujian Kimia Dasar 2 tidak membawa kalkulator. Saat itu ujian sudah berlangsung dan saya baru sadar tidak membawa kalkulator. Ya, betapa bodohnya saya. Tetapi, sekalipun saat itu saya betul-betul blank karena panik, sekaligus tidak bisa menghitung hitungan yang kompleks, prinsip jujur tetap ada. Saya kerjakan semampu mungkin dengan nilai akhir yang Alhamdulillah tidak mengecewakan :'D

Sedikit cerita, nilai saya yang tidak lepas dari unsur karbon, yang saya dapatkan dengan jerih payah sendiri (jujur tanpa contek mencontek) nyatanya membawa berkah tersendiri. Alhamdulillah, saya mendapat beasiswa one time grant yang nominalnya cukup untuk biaya kuliah. Inilah bentuk keberkahan yang saya maksud, wujud dari kesabaran dan penerimaan atas apa yang Allah anugerahkan. Prinsip kejujuran juga saya pegang ketika mencari penghasilan. Alhamdulillah, mulai semester ini saya sudah berani menghasilkan uang sendiri dengan mengajar, meskipun belum terlalu berpengalaman. Saya paham betul bagaimana lelah dan sulitnya mencari uang. Saya amat tidak ingin mencari uang dengan cara yang tidak jujur, baik itu dalam bentuk mencuri atau apapun. Terima kasih kepada keluarga dan teman-teman saya yang selalu membantu ketika dompet saya sisa 15 ribu :'D
Ya, sebenarnya saya tipe yang malu ketika meminta uang atau ketika dibelikan ini itu, jika hal tersebut bukanlah kewajiban orang yang bersangkutan. Tetapi, mereka yang menyayangi saya, yang ikhlas membantu dan memberi ketika saya butuh, itu adalah anugerah tersendiri yang saya dapatkan. Dan mereka mungkin tidak akan datang apabila saya tidak meraih rizki dengan cara yang jujur (halal).

Inilah sedikit makna dari kejujuran yang ingin saya bagikan. Semoga, apapun hasil semester 4 nanti, saya dapat memaknai kejujuran dan rasa syukur dengan lebih baik :'D
Jika saja ada sedikit atau banyak kegagalan yang didapatkan, semoga hal itu menjadi tangga yang membantu saya mencapai puncak keberhasilan. Harapan baik ini berlaku untuk pembaca sekalian, para pejuang yang tidak kenal lelah.

"Jujurlah, meskipun kejujuran itu membawamu ke neraka."
 

Template by BloggerCandy.com