Sunday, April 5, 2020

Luka

Pernahkah kalian berusaha sebaik dan sekuat mungkin dalam menjalani sesuatu untuk orang yang kalian kasihi? Mungkin sebagian besar dari kita pernah melewati masa ini. Sebagian dari kita memilih diam, mengunci kisah itu ke dalam kotak yang dikubur dalam.
Ini kisahku yang tidak aku kubur dalam.
Perjuanganku selama bertahun-tahun, memberikan semua yang aku punya untuk orang yang aku anggap istimewa. Rela melakukan kesalahan agar orang tersebut melihatku, memberikan aku ruang gerak sedikit bahwa sesungguhnya memang aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Dunia bahkan turut menghakimiku, "Kamu itu perempuan, seharusnya bukan kamu yang berusaha."
Tapi aku memilih bertahan.

Sekalipun aku marah padanya dan bilang bahwa, "Aku sudah tidak peduli kamu mau seperti apa,"
sungguh itu hanya di kalimat. Hanya tulisannya saja seperti itu. Pada akhirnya aku tetap tidak tega meninggalkan dia walau hanya sebentar. Tapi, inilah yang aku alami sendiri. Berkali-kali aku lihat dia lebih memilih orang lain.
Aku tahu sebagian besar dari kalian ada yang beranggapan bahwa, "Tidak apa-apa selagi dia baik ke teman-temannya."
Justru itu yang membuatku semakin tersiksa dengan semua ini. Dia selalu memilih teman-temannya, bahkan jika teman-temannya berbuat salah, tidak pernah ia berniat meninggalkan mereka. Tidak pernah sumpah serapah di hadapan teman-temannya.
Suatu ketika aku mengantar barang penting ke ruangan dia (dan teman-temannya, tentu). Aku pikir dia tengah merenung, sendirian, seperti apa yang aku lakukan setiap kali dia marah. Atau setiap kali kami bertengkar. Ternyata tidak, aku datang dan melihat dia tertawa bersama teman-temannya, 
"Syukurlah dia bahagia," batinku menyemangati hati yang rapuh.
Aku bergetar sendiri ketika aku menyerahkan barang tersebut di tengah-tengah mereka, suasanya berubah hening, tidak ada gelak tawa yang sebelumnya keluar dan merebak ke seluruh ruang. Bertahun-tahun aku tidak mengharapkan tegur sapanya, tidak pula ketika aku merubah suasana tawa menjadi hening saat itu. Tidak heran, sejak semester ini sudah kurasakan dia memang ingin menghindar.

Pertanyaanku, kenapa baru sekarang, ketika aku sudah menyerahkan semua yang aku mampu berikan?
Kenapa baru sekarang ketika semua ikhlas dan sabar aku jalani ketika dia jauh lebih membela teman-temannya dibanding aku, yang dia bilang dia akan menyayangi aku dan membuat aku percaya bahwa tidak semua laki-laki sama?

Hariku berat, kawan.
Aku ingat masa aku bilang padanya, "Aku tidak peduli lagi kamu mau ngapain, mau jungkir balik pun aku tidak peduli." Aku ingat setelah itu kami masih bisa menjalani bertahun-tahun, alias tidak, aku tidak benar-benar tidak peduli.
Kalian tahu, ketika perempuan bilang "Aku tidak peduli" maka sejatinya dia sangat peduli dan tidak ingin meninggalkan kalian.
Satu hal yang membuatku sakit saat ini adalah, dia menggunakan kalimat tersebut untuk meninggalkanku.
Dia bilang, "Dulu kamu bilang tidak peduli kan? Sekarang giliran aku yang tidak peduli mau kamu jungkir balik pun aku tidak peduli."
Deg.
Kontakku diblokir semuanya.
Semuanya.
Sudah satu bulan rasanya seperti ini. Dan bulan depan aku ulang tahun ke-23.
Berat bagiku menjalani ini semua.

Tubuhku bergetar ketika aku ingat betapa luka itu masih terasa sakit dan dalam. Tidak sedikit orang-orang membela dia dan menyalahkan bahwa aku terlalu berlebihan. Tuhan, jika saja mereka tahu bahwa yang sudah aku lakukan untuk dia sungguh di luar akal sehat dan batas kewajaran.
Tidak ada diskusi yang benar antara kami berdua. Dia bicara dengan emosi, bilang ingin berpisah, yang saat itu aku hanya bertanya, "Kenapa balas chat-nya berbeda?" dan kondisiku di kereta listrik, perjalanan ke kampus. Aku menangis sejadinya di Laboratorium, tidak tahu malu kondisi di sana banyak mahasiswa lalu lalang. 

Jika sesederhana itu rasa sakitnya, aku tidak menulis ini sembari meneteskan air mata. Aku menulis ketika aku rapuh, karena melalui tulisan, tersampaikan sebagian rasa takut dan sakit yang tidak bisa aku ungkapkan lewat ucapan. Aku yakin, ada saatnya dia sadar bahwa aku memang selama ini sabar dan ikhlas menerima semua perlakuan pun keadaan dia.

Sampai di sini dulu, orang tuaku akan kesal jika tahu aku menangis karena orang lain :)
Biarkan waktu yang menjawab sebenarnya seperti apa. Biarkan dia yang merasakan jawaban tersebut, karena sesungguhnya ini semua terjadi tanpa keinginanku. Semata keinginan dia. Bahkan, biarkan dia kelak merasakan luka yang aku rasakan. Sabar dan ikhlas, tapi diganti dengan disebarkan duri tajam untuk memaksa pergi.

No comments:

Post a Comment

 

Template by BloggerCandy.com