Saturday, December 31, 2016

Putus Asa? Hmm

Haluuuuuuuu~
Luhaaaaaaaa~(?)
Hwa sudah sangat lama blog ini tidak terjamah oleh jari jemari yang siap menari dan mengisahkan sebuah kisah kehidupan hari demi hari. Alhamdulillah, akhirnya bisa kembali menulis walaupun dengan kondisi takut menghadapi IP pertama.
Oke.
Kembalinya saya di dunia curhat menulis adalah ingin berbagi kisah tentang sebuah perjuangan. Sejujurnya, tahun lalu saya sudah menuliskan kegelisahan ditolak "si dia" berkali-kali. Namun, akibat kesalahan teknis pada admin, akhirnya tulisan tersebut dihapuskan dan dilenyapkan dari muka bumi.

Jadi..
Mungkin saya akan mengulasnya dan merangkumnya menjadi satu kesatuan dengan kisah yang saya alami saat ini.
Selamat membaca~

Lulus SMA mau ngapain? Kuliah, kerja, atau bahkan nikah (?)
Pilihan ideal bagi lulusan abu-abu adalah kuliah. Yap. Kuliah menandakan bahwa diri sendiri tidak lagi berjiwa "abu-abu" (penuh kebimbangan), melainkan sudah mantap melangkah, memiliki pendirian, dan pendewasaan yang lebih matang.
Bagi si idealis, pernyataan "lulus SMA harus kuliah" adalah sangat tepat. Namun, bagi si realistis, hanya realita lah yang mampu menyuarakan isi hati dalam kisah hidup mereka.
Ya.
Siapa yang tidak berjuang untuk meraih mimpinya?
Bahkan, saya sendiri sudah memiliki ambisi sejak kelas X, walaupun impian saya kerap kali berubah-ubah. Semangat belajar yang tiada henti, semangat berorganisasi, semangat mengenal lingkungan SMA, dan semua semangat untuk mengembangkan potensi diri di bidang sains dan sosial selalu saya kembangkan. Bukan untuk kesombongan, melainkan hanya pengalaman. Sebatas pengalaman. Hambatannya? Didominasi oleh manajemen waktu yang buruk, kesehatan terganggu, dan masih belum bisa mengambil keputusan.
Setiap manusia berhak menilai diri sendiri dan memulai memperbaiki setiap kesalahan yang ada pada langkah-langkah kecil kehidupannya. Kelas XI, saya membuka mata untuk menatap impian saya lebih dalam. Saya sudah jatuh di bidang Fisika, karena kebetulan saya anggota science club bidang Fisika. "Kebetulan" itulah yang membawa saya ke tahap ajang olimpiade, walaupun hanya sampai tingkat kota :')
"Kebetulan" itulah yang lagi-lagi mengajak saya berkontribusi lebih banyak di science club serta mengasah kemampuan organisasi dan mengendalikan emosi (?)
Jujur, kesibukan di kelas XI benar-benar membuat saya hampir melupakan belajar. Ranking turun drastis di semester 1, sehingga semester 2 saya harus kembali mengerahkan seluruh tenaga, jiwa, dan raga untuk membenahi akademik yang terhempas. Sungguh, di kelas XI saya baru belajar mengatur waktu untuk amanah di science club, kerohanian, dan amanah sebagai siswa.
Bagaimana dengan kelas XII? Puncak dari kegelisahan, ambisi, dan tikung menikung terjadi pada masa ini. Dulu, semua siswa kelas XII pasti ingin lolos SNMPTN (jalur masuk PTN tanpa tes). Yap, segala cara dilakukan agar nilai di rapor memuaskan, bahkan mungkin sangat memuaskan. Cara halal, setengah halal, sampai cara haram pun dilakukan. Bisa dibilang di kelas XII ini saya belajar memilih prioritas waktu dan prioritas pengeluaran. Saya mulai membuka mata bahwa ini saatnya untuk tidak mendengar apa kata orang lain. Biarpun orang bilang "kok lo belajar mulu sih..." "udahlah, taro bukunya" atau "besok masih bisa belajar kan" atau lebih parah "nih soal dari kelas sebelah, soalnya sama persis buat nanti ujian, pake aja..", tetaplah berpegang teguh terhadap apapun pilihan yang kita pilih sejak awal, karena yang paham kapasitas diri kita adalah kita sendiri, bukan orang lain.

Namun.
Keberhasilan dalam mencapai setiap proses bukanlah segalanya. Saya merasa berhasil melewati tahap demi tahap. Kata orang, "hasil tidak mengkhianati proses", tapi yang saya dapat justru sebaliknya.
Ranking paralel yang meyakinkan, membuat saya berani memilih Teknik Lingkungan UI sebagai pilihan pertama di SNMPTN. Saya lupa pilihan kedua dan ketiga, karena saya saat itu hanya mengincar pilihan pertama. Berhasilkah saya? Tidak. Saat itu, yang saya bisa lakukan adalah menangis hingga semalaman.
"Masih ada SBMPTN dan Simak UI.." bisik saya dalam hati.
Bagaimana SBMPTN? Gagal. Simak UI? Gagal.
Rasanya? Mati rasa, tapi yang jelas hampir seminggu menangisi kegagalan, karena tidak bisa menghadiahi orangtua, nenek, dan guru-guru SMA dengan keberhasilan saya.
Kenapa tidak mengikuti Ujian Mandiri PTN lain? Keterbatasan biaya adalah alasannya.
Tidak mencoba mencari cadangan?
Ya, sejak bulan Januari 2015 hingga selesai UN, saya mempersiapkan berkas pendaftaran beasiswa salah satu universitas swasta di Jakarta. Beasiswa yang diberikan sangat besar, meliputi asrama gratis, biaya kuliah gratis, dan uang saku perbulan senilai satu juta. Kakak saya adalah lulusan dari universitas ini dengan menggunakan beasiswa tersebut.
Ada tiga tahap seleksi. Seleksi berkas (surat-surat rekomendasi, essay, rapor, dan sertifikat), seleksi menggambar (saya mengambil prodi Desain Produk Industri), dan seleksi wawancara. Ada yang unik saat seleksi wawancara, karena wawancara tahun ini via telepon. Sementara itu, saya tipe orang yang gugup bicara lewat telepon, dan saya agak ragu bagaimana pewawancara membaca ekspresi saya. Sebelum hari wawancara, pihak panitia akan menghubungi peserta melalui telepon dengan tenggat waktu yang disediakan. Namun, hingga tenggat waktu habis, saya masih belum dihubungi. Saya mulai pesimis dengan hasil gambar yang saya berikan (jika satu tahap lolos, maka lanjut ke tahap berikutnya). Suatu hari, tiba-tiba pewawancara menelpon saya dan menanyakan apabila saya siap diwawancara 10 menit kemudian. Oh. Tidak. 10 menit? Baiklah, demi menjaga integritas, saya bersedia diwawancara dan saya senang karena wawancara berjalan lancar.
Tahap terakhir, saya dinyatakan lulus. Jadi? Apakah saya lantas kuliah di tempat tersebut? Saya ditelpon pihak universitas, apakah saya bersedia menerima beasiswa atau tidak. Saya menjawab bahwa saya akan bertanya terlebih dahulu kepada orangtua. Pihak universitas setuju dan akan kembali menghubungi saya besok pagi. Keesokan harinya, saya harus benar-benar menjawab pertanyaan tersebut... dan... saya... menolaknya.
Bukan karena saya tidak minat. Hati saya masih ingin UI. Lagipula, jika saya menerima beasiswa tersebut, lantas mencoba SBMPTN 2016 dan lolos, saya tidak bisa mundur dari beasiswa seenaknya. Saya harus mengganti semua uang yang telah diberikan. Bukan hal yang mudah, bukan?

Menyesal?
Sedikit. Tapi, ini demi impian saya.
Saya tidak ragu dan tidak memaksa untuk kuliah di tahun itu juga, jika itu bukan jalan saya.
Setiap manusia punya pillihan dan jalan masing-masing.
Kadang, kita melihat bahwa jalan hidup orang lain lebih mudah, indah, dan tanpa halangan.
Tapi, kita tidak berada di posisi orang lain. Ini posisi kita. Bisa jadi, beban yang ia pikul sesungguhnya lebih berat. Bisa jadi, kita tidak tau saat dia pernah terjatuh.
Dan.
Jangan menganggap rendah atau hina orang yang sedang terjatuh. Ingat, roda selalu berputar. Itu benar. Orang yang terjatuh bisa jadi bukan karena kesalahannya, bukan karena kemauannya. Melainkan, karena itulah jalan yang harus ia tempuh. Ingat pula, bahwa segala luka, perih, sakit, sedih, gagal, sesungguhnya akan tergantikan oleh sesuatu yang lebih indah dan tidak kita duga, apabila kita tidak berputus asa dalam berdoa dan berusaha.
 

Template by BloggerCandy.com