Thursday, March 19, 2020

Sebutir Hikmah di Akhir Tahun Pendidikanku

Assalamu'alaikum, teman-teman semua yang mungkin saat ini sudah tidak mengakses blog lagi, kecuali blog yang berisi informasi penting :') yap, berkali-kali saya memikirkan ide untuk mengisi blog ini dengan materi penting, namun tidak tercapai. Bahkan, mampu meng-update blog saja sudah bersyukur ahahaha.

Sekarang, saya bukan lagi siswi SMA yang sedang galau hendak kuliah di mana dan jurusan apa. Kabar baik, kini saya sedang menempuh skripsi untuk memperjuangkan gelar saya menjadi sarjana sains, tepatnya Ilmu Kimia. Bismillah, saya sendiri tidak begitu yakin dengan penelitian saya. Banyak kekacauan yang terjadi, termasuk baru-baru ini ada virus Covid-19 yang menyebabkan penelitian saya ditunda selama dua minggu. Mendebarkan, khawatir rencana kerja saya tidak berjalan dengan baik. Belum lagi tinjauan literatur saya yang belum bisa saya maksimalkan.

Bukan tanpa alasan saya belum dapat melakukan tinjauan literatur, memperdalam penelitian, metode, dan beberapa analisis terkait hasil yang saya peroleh. Dalam hidup ini, seringkali manusia berbuat kesalahan, kecil ataupun besar. Tidak peduli ukurannya, kesalahan tersebut pasti berpengaruh terhadap langkah selanjutnya, Inilah yang terjadi dalam hidup saya kini.

Kebodohan yang saya lakukan. Menerima satu orang dalam hati, mengisi penuh hati saya dengan sosok tersebut. Berusaha menanam semua benih perasaan tanpa peduli risikonya. Toh, dia bilang pasti serius. Pasti menepati janji, bahkan dia memberikan sesuatu sebagai tanda bukti keseriusannya. Kebodohan saya, tidak menolak tanda bukti tersebut, justru mengiyakan dengan hati yang rapuh.
Ya, dia telah "membentuk" saya selama bertahun-tahun. Sejak awal memang saya sulit percaya padanya, apalah daya seorang wanita yang sebelumnya diperlakukan tidak baik dengan lawan jenis? Pasti di dalam hati masih terkandung rasa tidak percaya, meskipun subjeknya kali ini berbeda. Tetap saja. Saya tidak bisa mempermainkan perasaan, maka saya berikan, saya berusaha berikan perasaan saya utuh kepadanya. Rasa percaya saya tanamkan selama kurang lebih dua tahun. 

Mengasihinya untuk pertama kali, memberikan dia senyuman dari jauh karena saya terlalu takut jika ada banyak orang yang tahu. Memberikan dia doa dari jauh, memberikan dukungan, dalam senyap saya membatinkan agar apapun yang dia kerjakan berbuah keberhasilan. Jujur, saya menangis menuliskan tiap kesenyapan yang saya lakukan pada saat itu. Saya berani bilang bahwa ini adalah suci, tidak semua wanita (kecuali anggota keluarganya), mampu atau bahkan mau melakukan hal tersebut tanpa pamrih.

Tidak pernah saya ingin tahu hartanya.
Ketika orang lain banyak yang membicarakan hartanya.
Tidak pernah saya ingin tahu kepandaiannya.
Ketika orang lain banyak yang inginkan kepandaiannya.

Ketika dia datang kepada saya, saya berjanji untuk tidak melukainya. Gagal? Saya coba lagi. Saya coba terus. Saya ulangi lagi. Apapun akan saya lakukan untuk menutupi kegagalan saya pada saat itu.
Namun, justru itulah kebodohan saya, semua telah saya relakan. 
Tidak bisa melihatnya marah, maka saya tekan ego saya agar bisa mengalah. Saya maafkan semua kesalahannya, baik yang dia akui atau tidak akui. Sakit adalah sakit, namun maaf tetap saya berikan. Setiap pertengkaran saya tutup dengan senyuman, bukan karena saya merasa menang, tapi karena saya betul-betul tidak ingin dia marah lagi. Saya paham bahwa jika dia api, maka saya harus jadi air, bahkan mungkin es. Menjadi es di tengah api, memadamkan semuanya.

Bertahun-tahun saya berani mengambil langkah yang belakangan saya pelajari "itu salah."
Pun, dia terkesan tidak ingin mengingatkan, "Jangan seperti itu." 
Bagaimana saya tidak banyak mengalah apabila saya terus menerus ditekan oleh emosinya yang semakin menjadi-jadi? Bagaimana saya, seorang wanita yang pada saat itu berusaha memberikan hati dan kepercayaan untuk pasangannya, berani mengambil langkah ekstrim, jika tidak ada jalan keluar lain selain perpisahan?
Saya tidak pernah main-main. Ternyata justru saya yang dipermainkan, seolah-olah, bentuk ancaman yang tidak kasat mata dia berikan, "Kalau kamu tidak A, maka berpisah. Maka tetap saya ungkit. Maka tetap seperti ini."
Memang, tahun pertama bersamanya saya adalah orang yang paling tidak percaya dengan semua kata-katanya. Saya tikam dia secara nyata dengan semua pikiran negatif saya tentang laki-laki. Hingga akhirnya, semakin hari pada saat itu saya sadari, lebih baik saya mencoba lebih percaya. Dua tahun berikutnya, saya berusaha lebih keras lagi untuk bertahan. Memendama semua kekecewaan, memahami lebih dalam, ego saya tekan, dan tidak memaksakan kehendak. Berulang kali saya tanyakan, "Kamu berjanji untuk serius?" dia selalu menjawab, "Ya, saya sangat serius."


Dia meninggalkan janjinya.
Akhir yang tragis.
Di penghujung tahun pendidikan saya, justru dia yang meninggalkan saya dengan alasan yang pernah saya dengar, yang menjadi faktor saya sulit percaya dia di awal tahun kebersamaan. Yang menjadi cambuk, menjadi silet, membuka semua luka yang baru saja saya balut.
"Kamu ternyata seperti ini."
Seperti apa? Saya bahkan tidak tahu saya seperti apa. Semua alasan yang dia keluarkan hanya berlandaskan tahun pertama dia terluka, semua penjelasan saya tidak didengarkan, bahkan semua yang saya lakukan tidak diindahkan.
Saya telah merelakan semua.

Benar-benar berat untuk saya menjalani ini.
Kini, dia menutup semua akses komunikasi. Saya yakin, dia merasa dia menang karena berhasil membuat saya menyerah. Saya yakin, justru dia bisa tertawa, bisa merasa puas karena kebosanan dia akhirnya terputuskan.

Hanya Allah tempat saya bersandar.
Tidak semestinya saya mengambil jalan ekstrim, di balik punggung kedua orangtua saya, tanpa menceritakan secuil pun bagaimana saya melalui itu semua dengan keputusan saya sendiri. Saya menekan ego di depan wajahnya, tapi saya justru egois di depan kedua orangtua saya.
Kini, bukan hanya nama baik saya saja yang tercoreng. Nama baik orangtua, adik-adik, kakak-kakak saya, semua sudah rusak.

Dia tidak akan paham, bahwa banyak hal yang berani saya lakukan, yang di luar batas kewajaran, adalah karena rasa percaya kepadanya.
Dia tidak akan paham, bahwa  banyak hal yang berani saya lakukan, hanya untuk meminta maaf dan kembali membuatnya bahagia.
Dia tidak akan paham, bahwa tidak semestinya berakhir seperti ini, komunikasi jarak jauh, tidak intensif, tidak ada tatap mata. Semua spontan. Egois.

Maka, biarkan pengalaman pahit ini saya yang memahami.
Laki-laki yang baik pasti memaafkan, tidak tega apabila wanita harus melakukan semuanya terus menerus.  

Semuanya.
 

Template by BloggerCandy.com